Bersepeda Dengan Gembira, Membancir Setelahnya (Part 1)



Warna langit yang lumayan gelap plus roti pisang dan secangkir teh panas penuh rasa cinta buatan istri , sempat membuat goyah niatan untuk bersepeda hari ini. Namun mengingat kemaren sudah bela-belain mengalokasikan waktu buat ngelap sepeda sampai kinclong dan ngeluarin modal buat beli minyak pelumas rantai (yang entah sumber anggarannya dari mana) akhirnya sambil meneriakkan yel-yel “Saya tidak menyerah !” senyaring-nyarinya di dalam hati , Saya mulai  menyusuri jalan Sungai Lulut  menuju kawasan CFD Banjarmasin di Area Masjid Raya Sabilal Muhtadin.


Kayuhan sepeda hari ini terasa enteng, efek dari rantai yang basah oleh minyak pelumas memuat semuanya terasa lancar. Memasuki kawasan pasar Sungai Lulut yang beberapa hari ini menjadi terkenal dalam grup Facebook Habar Banua Enam+ gara-gara kemacetannya yang luar binasa pun perjalanan masih lancar, adem ayem-gemah ripah loh jinawi (Ya iyalah,  hari Minggu gitu loh, coba kalau hari kerja )

Memang dari sudut pandang pembangungan, kawasan Sungai Lulut merupakan semacam area penyangga bagi Kota Banjarmasin. Berawal dari kawasan pemukiman tradisional, yang kemudian berubah menjadi daerah pemukiman yang sangat padat dengan dibangunnya komplek-koplek perumahan bersubsidi utnutk masyarakat pada akhirnya menjadikan Sungai Lulut menjadi salah satu kawasan yang padat penduduk, dengan akses jalan yang tergolong sempit.

Efeknya adalah Sungai Lulut menjadi rawan macet, terutama pada pagi dan sore hari. Adanya pasar tradisional, jembatan yang sempit dan perilaku berkendara yang lebih mementingkan diri sendiri menjadikan kemacetan di daerah ini bisa berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Tapi di luar itu, Sungai Lulut adalah surga bagi pecinta buah-buahan tropis. Bagi pecinta rambutan seperti Saya, tinggal di Sungai Lulut adalah sebuah anugerah yang tak terkira. Sungai Lulut adalah penanda bagi awal dan akhir musim rambutan. Bila rambutan sudah muncul pada display pedagang pasar Sungai Lulut itu menandakan bahwa musim rambutan sudah mulai tiba, dan sebaliknya akhir dari musim rambutan juga berada di tempat ini.

(Paragraph diatas adalah efek dari ketika Saya bersepeda sambil mengkhayal makan buah rambutan )

Memasuki kawasan simpangtiga jalan Veteran-Pramuka, ujian datang lagi berupa tetesan – tetsan air hujan yang turun secara perlahan dan membangkitkan kenangan  akan jemuran yang belum kering (tsahhhh..). Mulai muncul dorongan untuk memutar balik arah sepeda untuk kembali ke Sungai Lulut dengan membawa satu kantong plastik besar rambutan (again!)

Untungnya saat sedang galau tersebut, kayuhan sepeda Saya  tidak berhenti sehingga dorongan untuk balik arah kalah dengan kenyataan bahwa jarak yang ditempuh sudah lumayan jauh, sehingga sangat sayang kalau gowes hari ini dibatalkan. Entah karena kalah kuat dengan tekat saya atau memang hari hari belum ditakdirkan untuk hujan akhirnya tetesan-tetesan air tadi kemudian berhenti dengan sendirinya, dan tinggallah saya terdampar di simpang tiga kuripan sambil mereka-reka seperti apa bentuk rekayasa jalur lalu lintas yang bar dibikin dan dilakukan oleh polisi lalu lintas  di kawasan ini.

Mendekati kawasan jembatan merdeka, situasi mulai ramai dengan masyarakat yang berjalan kaki untuk berolah raga santai di kawasan CFD ataupun  yang sekedar jalan-jalan di kawasan Siring Menara Pandang.

Setelah satu putaran bermanuver mengelilingi kawasan Masjid Raya Sabilal Muhtadin  dengan Seli (Sepeda Lipat) United Stylo 16 Inchi kesayangan, istirahat di tempat biasa para aktifis Seli Banjarmasin mangkal menjadi pilihan. Ngasih kesempatan hidung dan paru-paru untuk bernafas dengan normal sekaligus mengecek pesan di grup WA  untuk memantau siapa-siapa saja dari Om-om Seli yang hadir hari ini.
Katanya ciri-ciri pemilik sepeda yang baik adalah mempunyai ikatan bathin yang kuat dengan sepedanya. Sebagai bentuk dari empati atas beban yang ditanggunngnya, sepeda pun saya lipat agar dia bisa beristirahat dengan rileks untuk memulihkan tenaga. 😁
Dilipet dulu, biar istirahat 😂
Setelah sedikit say hello dan salaman dengan bapak-bapak dari grup MTB yang juga mangkal disitu, hadir Om Haris dengan Urbano Hitam Orangenya, kemudian Om Bambang dengan Pockrock kuningnya yang fenomenal sebab berkamuflase menjadi Dahon Eco 3, serta Om Krisna Agung bersama Giant nya yang full variasi.
Salah satu ciri-ciri goweser kekininan adalah terpapar teknologi informasi dan teknologi. Apalah artinya kumpul-kumpul tanpa foto-foto. Kalau dulu jaman kamera seluloid foto-foto adalah untuk mengabadikan kenangan yang special, maka zaman sekarang foto-foto juga berperan sebagai sarana berbagai kabar. Foto kemudian upload ke grup, selesai maka teman-teman di grup akan baca dan mendatangi, demikian kira-kira.
Nggak kebayang kalau kita masih di jaman dulu, dimana salah satu sarana untuk menandakan posisi diri adalah dengan memukul kentongan bambu. Bisa jadi setiap sepeda membawa satu kentongan bamboo, dan kawasan CFD akan ramai dengan bunyi kentongan, persis seperti orang sedang kebakaran 😂
Bersama Om Bambang dan Om Harris
 
Yel-yel semangat sebelum gowes (Photo by Om Krisna Agung)


 Lanjutannya baca di  Bersepeda Dengan Gembira, Membancir Setelahnya (Part 2).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Resolusi? (2)

SITUS TAMBANG ORANJE NASSAU, CEROBONG UDARA KE MASA LALU (Sebuah Catatan Lawatan Sejarah Daerah Kalimantan Selatan)