Gambar oleh Michal Jarmoluk.Pixabay
Semenjak akhir
2019, virus corona menjadi sebuah teror yang menghantui dunia. Cepatnya proses
penyebaran serta jatuhnya ribuan korban dalam waktu yang singkat menjadikan
virus ini sebagai sebuah bencana yang dilambangkan dengan status pandemi.
Sejak ditemukan
kemunculannya di Indonesia pertama kali pada Maret 2020, pemerintah melakukan
banyak langkah dan kebijakan yang tertuang dalam lembaran-lembaran pertaturan
dan surat edaran dari usaha pencegahan sampai penanggulangan covid 19.
Salah satu
yang menarik adalah adanya pembagian wilayah berdasarkan penyebaran dan resiko
dari covid-19 dalam bentuk zonasi warna. Terdapat empat zona warna yaitu: Hijau
untuk daerah dengan resiko rendah, kuning, oranye, merah dan hitam.
Sejak ditetapkan
10 juni lalu, seumpama traffic light di perempatan zonasi warna ini seharusnya
menjadi petunjuk tentang apa dan bagaimana sebuah aktifitas dapat dilakukan di
suatu tempat. Semakin pekat warna zona nya maka semakin terbatas dan ketat
aturan yang harus diperhatikan di area tersebut.
Namun faktanya
seakan berkebalikan. Aktifitas
masyarakat berlangsung biasa-biasa saja, aturan pencegahan covid hanya nampak
secara fisik melalui jumlah yang memakai masker meningkat (meski orang tidak
memakai masker saaat beraktifitas juga banyak) serta menjamurnya tempat cuci
tangan pada area publik. Selebihnya, ya biasa saja...
Satu-satunya
lembaga yang taat terhadap zonasi warna tersebut adalah sekolah. Semenjak
diberlaukannya kondisi darurat covid maka kegiatan pembelajaran melalui tatap
muka di sekolah ditiadakan dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ)
secara daring ataupun luring. Sampai hari ini.
Sayangnya ketaatan
tersebut tidaklah berjalan mulus dalam persepsi penerimaan masyarakat. Semenjak
awal dilaksanakan sampai dengan hari ini, tidak sedikit muncul penolakan (meski
tidak sampai berbentuk perlawanan).
Penolakan
tersebut berbentuk postingan atau pesan panjang yang mampir dalam WA kita baik
melalui grup keluarga, teman kerja, grup pecinta sepeda dan juga penggemar
drama korea. Ada yang didasari karena ketidaksanggupan mendampingi anak untuk
belajar di rumah, sampai pada yang berupa dugaan bahwa pembelajaran jarak jauh
adalah bentuk keinginan dan kemalasan guru saat melaksanakan tugas.
Sebagai sebuah
bentuk sikap kontra, maka tentu akan melahirkan kelompok yang berada pada kutub
satunya yaitu kelompok pro. Dan masyarakat pun terbelah, meneruskan suasana
kebatinan menjelang dan pasca pilpres 2014 dan 2019.
Oke, stop..
tulisan ini tidak akan membahas soal belah dan terbelah tersebut. Apalagi
membawa-bawa urusan politik sebagai pemanasan pilpres 2024.
Back to the
topic, tulisan ini hanya ingin mengangkat betapa zonasi warna terkait
penyebaran covid-19 hanya berlaku di sekolah saja, sementara pada bidang lain
menjadi semacam tidak bermakna. Bahkan terjadi kontradiktif. Di tingkat obrolan
dan wacana kita berharap dapat mencapai zona hijau, sementara dalam tindakan (nampak) kita tidak ingin mewujudkannya.
Kita menyepakati
bahwa apabila zona hijau kegiatan masyarkat akan stabil, aktifitas ekonomi
menjadi normal. Faktanya meski zona merah kegiatan ekonomi juga tidak
terkendala. Daya beli menurun? Sebelum negara api berupa covid-19 menyerang (sepertinya) juga
sudah demikian.
Melihat
beberapa berita dalam pekan ini, jujur saya berfikir bahwa zona hijau menjadi
semacam utopia. Setidaknya selama vaksin sebenar-benarnya vaksin anti covid-19
belum ditemukan. Kenapa demikian? sebetulnya selain vaksin ada satu jalan yang
dapat dilakukan untuk mewujudkan zona hijau yaitu dengan pola sikap disiplin
oleh masyarakat. Namun dengan kembali pada paragraf-paragraf sebelumnya, maka
cara tersebut sulit terlaksana. Sementara berharap pada ditemukannya vaksin,
maka kita harus bersabar dalam waktu yang lumayan lama.
Dan selama
kita belum mencapai zona hijau maka sepanjang waktu itu pula kita akan berada
dalam kondisi seperti ini. Untuk bisa survive secara mental tiada jalan lain
kecuali banyak-banyak bersabar dan berdamai dengan keadaan dalam bentuk “nyaman
dengan ketidaknyamanan” (secara khusus ini terkait dengan pelaksanaan
pembelajaran jarak jauh ).
Siap tidak
siap, punya atau tidak punya bekal kita hadapi dan lalui sebab tiada pilihan
lain. Keselamatan dan kesehatan anak-anak (siswa) dan seluruh warga sekolah adalah yang utama. Hingga pada akhirnya kita
akan terbiasa dengan pola pembelajaran seperti sekarang dan tanpa disadari kita pun
mewujudkan new normal (masa kebiasaan baru ) dalam arti sebenarnya...
|
Komentar
Posting Komentar