TAHUN AJARAN BARU DI MASA NEW NORMAL: DARI PEDAGOGI KE HEUTAGOGI?
Per tangal 13 Juli kemaren kita resmi memasuki tahun ajaran baru 2020-2021 yang secara sederhana berarti bahwa perjalanan tahun ajaran sebelumnya telah selesai. Tahun ajaran 2019/2020 sendiri merupakan periode
pembelajaran yang sungguh istimewa dan luar biasa, dimana empat bulan
terakhirnya berlangsung dalam suasana pandemic yang kemudian secara radikal menyebabkan perubahan pada kegiatan pembelajaran di sekolah, dari pola
konvensional ke pola daring (online) yang berbasis berbasis internet.
Meski pembelajaran secara online sudah sejak lama di
gaungkan dan di idam-idamkan untuk diterapkan karena dipandang sebagai sebuah
kemajuan dan kemudahan, namun pada kenyataannya (juga karena faktor tiba-tiba) muncul beberapa
kendala dalam pelaksanaannya.
Pertama, terbatasnya sarana pembelajaran pada siswa,
dalam hal ini gadget/smartphone. Terutama pada tingkat SD, dimana tidak semua
orangtua memfasilitasi anaknya dengan smartphone sehingga untuk mengikuti
pembelajaran online harus menggunakan milik orangtuanya, sementara orangtuanya
masih terikat dengan jam masuk bekerja atau aktifitas lainnya.
Kedua, belum semua siswa dan orangtua, serta (sebagian)
guru memahami dengan baik cara pengggunaan
aplikasi/platform yang dipakai dalam kegiatan belajar daring sehingga acapkali
muncul masalah dimana siswa tidak bisa mengakses materi atau mengirimkan tugas
yang telah diberikan.
Ketiga adalah adanya misspersepsi, dimana sebagian siswa mengangap masa belajar dirumah sebagai libur
sekolah yang tentunya tidak perlu ada kegiatan pembelajaran dan penugasan, sehingga
semua kegiatan pembelajaran dan penugasan tidak diikuti sama sekali.
Dan yang ke empat adalah kegiatan pembelajaran yang
di dominasi dengan pemberian tugas secara langsung tanpa didahului dengan
proses pembelajaran. Siswa langsung diberi tugas mengerjakan soal atau latihan,
dan terjadi hampir pada semua mata
pelajaran yang diikuti, sehingga terjadi tumpukan tugas yang sangat banyak dan
tentu sangat melelahkan.
Dengan kondisi demikian, tentu pelaksanaan belajar
dari rumah menjadi sesuatu yang seakan dilaksanakan setengah hati saja, dan lebih banyak karena faktor wabah corona
dari pada kebutuhan, sehingga menimbulkan banyak problem dan cenderung bermuara
pada pertanyaan kapan waktu berakhirnya.
Tidak adanya batasan waktu yang pasti terkait pelaksanaan
kegiatan belajar dari rumah, yang ditandai dengan empat kali masa perpanjangan
pada akhirnya menimbulkan banyak dugaan dan kabar yang tidak jelas terkait
pelaksanaan pembelajaran pada tahun ajaran baru 2020/2021.
Terbitnya Surat Keputusan Bersama Empat Menteri
tentang Panduan Pembelajaran Pada Tahun ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik
2020/2021 Pada Masa Pandemic Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada tanggal
15 Juni 2020 telah menjadi jawaban atas kebingunan dan simpang siurnya berita
terkait pelaksanaan tahun ajaran baru. bagi sekolah dan tahun akademik bagi
perguruan tinggi.
Secara umum surat keputusan tersebut menyatakan dua
hal, Pertama: Pelaksanaan tahun
ajaran 2020/2021 untuk sekolah dimulai pada Juli 2020, sedangkan tahun akademik
untuk perguruan tinggi pada bulan September, serta untuk pondok pesantren
diawali pada Syawal 1441 H. Kedua: Pelaksanaan
kegiatan tatap muka dalam pembelajaran tidak dilaksanakan serempak melainkan
mengacu pada status suatu derah terhadap Covid-19 yang ditetapkan oleh gugus
tugas dalam bentuk zona hijau, zona kuning, zona orange dan zona merah.
Poin kedua ini secara khusus hanya berlaku bagi
sekolah umum, sementara bagi sekolah keagamaan terdapat pengecualian dimana
kegiatan tatap muka dapat dilaksanakan tanpa mengacu pada status daerah
terhadap Covid-19.
Namun ada hal yang menarik untuk dicermati dalam
lampiran surat keputusan tersebut, yaitu, meski berada pada zona hijau, dan
kegiatan tatap muka dalam pembelajaran dapat dilaksanakan, namun orangtua dan
atau siswa diperbolehkan untuk memilih pola pembelajaran daring dengan
pertimbangan kesehatan.
Secara sekilas hal ini sesuatu yang wajar dengan
pertimbangan kesehatan, namun sesungguhnya ini adalah sebuah konsep yang bisa
jadi merupakan prototype system pendidikan kita pada masa yang akan datang.
Adanya kebebasan memilih model atau pola
pembelajaran merupakan wujud “kemerdekaan” dalam belajar. Sebuah istilah yang mejadi
familiar semenjak Nadiem Makariem di percaya sebagai menteri pendidikan oleh
presiden Joko Widodo.
Dalam ilmu pendidikan dikenal ada tiga pola
pendekatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yaitu Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi.
Pedagogi adalah pendekatan
pembelajran dimana guru memahami meteri pelajaran, mengenali karakter siswa
serta menentukan model pembelajaran yang tepat untuk digunakan. Andragogi
adalah pendekatan pembelajaran yang digunakan pada orang dewasa melalaui proses
memahami, menemukan dan memecahkan masalah sendiri. Sementara Heutagogi sebagai perkembangan dari Andragogi, memberikan kesempatan yang
lebih besar bagi peserta didik untuk menentukan sendiri pola dan model dalam
pembelajaran.
Dari sini kemudian kita bisa memandang bahwa meski
dilatar-belakangi oleh factor covid-19, pelaksanaan pembelajaran pada masa
kebisaan baru (new normal) menunjukan adanya ruang pergeseran dari pedagogi ke
arah heutagogi sebagai pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran.
Heutagogi
sendiri berkembang dengan didorong oleh perkembangan teknologi dan informasi
(smartphone, internet, dll) yang menyediakan sumber-sumber pembelajaran secara
tak terbatas (Hiryanto;2017).
Tidak adanya batasan waktu, sampai
kapan pola ini akan dilaksanakan, bisa menjadi penguat dari perubahan tersebut.
Dengan enam bulan penerapan, pola tersebut akan membentuk sebuah kebiasaan baru
/ new normal dalam bentuk kebebasan dalam memilih pola pembelajaran.
Jika hal ini kemudian menjadi sesuatu
yang diterima secara umum, maka bukan tidak mungkin dalam skala lebih besar
mendorong terjadinya perubahan pada sistem pendidikan nasional kita. Sekolah
dan lembaga pendidikan lainnya tentu harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
perubahan ini.
Penguatan kelas Virtual
Dengan mengacu pada kondisi saat ini, dimana
pembalajaran akan dilaksanakan dalam pola daring secara penuh , atau minimal
dalam bentuk blended learning, maka
penguatan kelas-kelas virtual merupakan sesuatu yang wajib untuk dilakukan.
Meski diperbolahkan melaksanakan pembelajaran tatap
muka, sekolah harus tetap mempersiapkan
pembelajaran daring untuk menfasilitasi siswa yang memilih pola
tersebut, serta memastikan tidak ada perbedaan dari sgi kualitas anatar
pembelajaran konvensional dan pembelajaran daring yang diberikan kepada siswa.
Secara sederhana pembelajaran daring merupakan
bentuk penerapan ICT (Information Communication and Technology) dalam pendidikan. Jika prinsip ICT telah diterapkan
secara benar maka akan ada tiga hal yang akan kita temukan dalam dalam pembelajaran, yaitu kecepatan,
kolaborasi dan efisensi.
Kecepatan dalam hal ini adalah proses penerimaan dan
pengolahan informasi sebagai sumber belajar berlangsung secara cepat, karena
tidak lagi dibatasi oleh faktor fisik, beriktunya adalah terciptanya kolaborasi
antar peserta didik, bahkan memungkinkan terjadi kolaborasi dengan pihak luar
terkait sumber dan sarana pembelajaran. ICT memungkinkan pembelajaran dengan
menghadirkan narasumber dari kalangan tertentu yang berkaitan secara langsung
dengan materi yang dipelajari tanpa harus memakan waktu dan biaya yang besar
sehingga dengan sendirinya terwujud sebuah efisiensi yang cukup besar.
Agar tujuan tersebut bisa tercapai, maka sekolah dan
para guru harus mempersiapkan diri dengan baik, berdasarkan pelaksanaan
pembelajaran dari yang telah di laksanakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas pembelajaran, sertu perlu adanya usaha mendefinisikan ulang konsep
pembelajaran daring.
Dengan demikian maka, pembelajaran daring bukan
sekedar melakukan hal lama dengan cara baru (Doing old things in new way),
tetapi menjadi sebuah sarana dalam penemuan hal baru melalaui cara yang baru
(Doing ne things in new way).
Komentar
Posting Komentar