TAHUN AJARAN BARU DI MASA NEW NORMAL: DARI PEDAGOGI KE HEUTAGOGI?

Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/photos/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=984236">Free-Photos</a> dari <a href="https://pixabay.com/id/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=984236">Pixabay</a>

Per tangal 13 Juli kemaren kita resmi memasuki tahun ajaran baru 2020-2021 yang secara sederhana berarti bahwa perjalanan tahun ajaran sebelumnya telah selesai. Tahun ajaran 2019/2020 sendiri merupakan periode pembelajaran yang sungguh istimewa dan luar biasa, dimana empat bulan terakhirnya berlangsung dalam suasana pandemic yang kemudian  secara radikal menyebabkan perubahan pada  kegiatan pembelajaran di sekolah, dari pola konvensional ke pola daring (online) yang berbasis berbasis internet.
Meski pembelajaran secara online sudah sejak lama di gaungkan dan di idam-idamkan untuk diterapkan karena dipandang sebagai sebuah kemajuan dan kemudahan, namun pada kenyataannya (juga karena faktor  tiba-tiba) muncul  beberapa  kendala dalam pelaksanaannya.
Pertama, terbatasnya sarana pembelajaran pada siswa, dalam hal ini gadget/smartphone. Terutama pada tingkat SD, dimana tidak semua orangtua memfasilitasi anaknya dengan smartphone sehingga untuk mengikuti pembelajaran online harus menggunakan milik orangtuanya, sementara orangtuanya masih terikat dengan jam masuk bekerja atau aktifitas lainnya.
Kedua, belum semua siswa dan orangtua, serta (sebagian) guru  memahami dengan baik cara pengggunaan aplikasi/platform yang dipakai dalam kegiatan belajar daring sehingga acapkali muncul masalah dimana siswa tidak bisa mengakses materi atau mengirimkan tugas yang telah diberikan.
Ketiga adalah adanya misspersepsi, dimana sebagian siswa  mengangap masa belajar dirumah sebagai libur sekolah yang tentunya tidak perlu ada kegiatan pembelajaran dan penugasan, sehingga semua kegiatan pembelajaran dan penugasan tidak diikuti sama sekali.
Dan yang ke empat adalah kegiatan pembelajaran yang di dominasi dengan pemberian tugas secara langsung tanpa didahului dengan proses pembelajaran. Siswa langsung diberi tugas mengerjakan soal atau latihan, dan terjadi hampir  pada semua mata pelajaran yang diikuti, sehingga terjadi tumpukan tugas yang sangat banyak dan tentu sangat melelahkan.
Dengan kondisi demikian, tentu pelaksanaan belajar dari rumah menjadi sesuatu yang seakan dilaksanakan setengah hati saja,  dan lebih banyak karena faktor wabah corona dari pada kebutuhan, sehingga menimbulkan banyak problem dan cenderung bermuara pada pertanyaan kapan waktu berakhirnya.
Tidak adanya  batasan waktu yang pasti terkait pelaksanaan kegiatan belajar dari rumah, yang ditandai dengan empat kali masa perpanjangan pada akhirnya menimbulkan banyak dugaan dan kabar yang tidak jelas terkait pelaksanaan pembelajaran pada tahun ajaran baru 2020/2021.
Terbitnya Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Panduan Pembelajaran Pada Tahun ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 Pada Masa Pandemic Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada tanggal 15 Juni 2020 telah menjadi jawaban atas kebingunan dan simpang siurnya berita terkait pelaksanaan tahun ajaran baru. bagi sekolah dan tahun akademik bagi perguruan tinggi.
Secara umum surat keputusan tersebut menyatakan dua hal, Pertama: Pelaksanaan tahun ajaran 2020/2021 untuk sekolah dimulai pada Juli 2020, sedangkan tahun akademik untuk perguruan tinggi pada bulan September, serta untuk pondok pesantren diawali pada Syawal 1441 H. Kedua: Pelaksanaan kegiatan tatap muka dalam pembelajaran tidak dilaksanakan serempak melainkan mengacu pada status suatu derah terhadap Covid-19 yang ditetapkan oleh gugus tugas dalam bentuk zona hijau, zona kuning, zona orange dan zona merah.
Poin kedua ini secara khusus hanya berlaku bagi sekolah umum, sementara bagi sekolah keagamaan terdapat pengecualian dimana kegiatan tatap muka dapat dilaksanakan tanpa mengacu pada status daerah terhadap Covid-19.
Namun ada hal yang menarik untuk dicermati dalam lampiran surat keputusan tersebut, yaitu, meski berada pada zona hijau, dan kegiatan tatap muka dalam pembelajaran dapat dilaksanakan, namun orangtua dan atau siswa diperbolehkan untuk memilih pola pembelajaran daring dengan pertimbangan kesehatan.
Secara sekilas hal ini sesuatu yang wajar dengan pertimbangan kesehatan, namun sesungguhnya ini adalah sebuah konsep yang bisa jadi merupakan prototype system pendidikan kita pada masa yang akan datang.
Adanya kebebasan memilih model atau pola pembelajaran merupakan wujud “kemerdekaan” dalam belajar. Sebuah istilah yang mejadi familiar semenjak Nadiem Makariem di percaya sebagai menteri pendidikan oleh presiden Joko Widodo.
Dalam ilmu pendidikan dikenal ada tiga pola pendekatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yaitu Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Pedagogi adalah pendekatan pembelajran dimana guru memahami meteri pelajaran, mengenali karakter siswa serta menentukan model pembelajaran yang tepat untuk digunakan.  Andragogi adalah pendekatan pembelajaran yang digunakan pada orang dewasa melalaui proses memahami, menemukan dan memecahkan masalah sendiri. Sementara Heutagogi sebagai perkembangan dari Andragogi, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi peserta didik untuk menentukan sendiri pola dan model dalam pembelajaran.
Dari sini kemudian kita bisa memandang bahwa meski dilatar-belakangi oleh factor covid-19, pelaksanaan pembelajaran pada masa kebisaan baru (new normal) menunjukan adanya ruang pergeseran dari pedagogi ke arah heutagogi sebagai pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran.
Heutagogi sendiri berkembang dengan didorong oleh perkembangan teknologi dan informasi (smartphone, internet, dll) yang menyediakan sumber-sumber pembelajaran secara tak terbatas (Hiryanto;2017).
Tidak adanya batasan waktu, sampai kapan pola ini akan dilaksanakan, bisa menjadi penguat dari perubahan tersebut. Dengan enam bulan penerapan, pola tersebut akan membentuk sebuah kebiasaan baru / new normal dalam bentuk kebebasan dalam memilih pola pembelajaran.
Jika hal ini kemudian menjadi sesuatu yang diterima secara umum, maka bukan tidak mungkin dalam skala lebih besar mendorong terjadinya perubahan pada sistem pendidikan nasional kita. Sekolah dan lembaga pendidikan lainnya tentu harus mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan ini.
Penguatan kelas Virtual
Dengan mengacu pada kondisi saat ini, dimana pembalajaran akan dilaksanakan dalam pola daring secara penuh , atau minimal dalam bentuk blended learning, maka penguatan kelas-kelas virtual merupakan sesuatu yang wajib untuk dilakukan.
Meski diperbolahkan melaksanakan pembelajaran tatap muka, sekolah harus tetap mempersiapkan  pembelajaran daring untuk menfasilitasi siswa yang memilih pola tersebut, serta memastikan tidak ada perbedaan dari sgi kualitas anatar pembelajaran konvensional dan pembelajaran daring yang diberikan kepada siswa.
Secara sederhana pembelajaran daring merupakan bentuk penerapan ICT (Information Communication and Technology)  dalam pendidikan. Jika prinsip ICT telah diterapkan secara benar maka akan ada tiga hal yang akan kita temukan dalam  dalam pembelajaran, yaitu kecepatan, kolaborasi dan efisensi.
Kecepatan dalam hal ini adalah proses penerimaan dan pengolahan informasi sebagai sumber belajar berlangsung secara cepat, karena tidak lagi dibatasi oleh faktor fisik, beriktunya adalah terciptanya kolaborasi antar peserta didik, bahkan memungkinkan terjadi kolaborasi dengan pihak luar terkait sumber dan sarana pembelajaran. ICT memungkinkan pembelajaran dengan menghadirkan narasumber dari kalangan tertentu yang berkaitan secara langsung dengan materi yang dipelajari tanpa harus memakan waktu dan biaya yang besar sehingga dengan sendirinya terwujud sebuah efisiensi yang cukup besar.
Agar tujuan tersebut bisa tercapai, maka sekolah dan para guru harus mempersiapkan diri dengan baik, berdasarkan pelaksanaan pembelajaran dari yang telah di laksanakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran, sertu perlu adanya usaha mendefinisikan ulang konsep pembelajaran daring.
Dengan demikian maka, pembelajaran daring bukan sekedar melakukan hal lama dengan cara baru (Doing old things in new way), tetapi menjadi sebuah sarana dalam penemuan hal baru melalaui cara yang baru (Doing ne things in new way).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Resolusi? (2)

SITUS TAMBANG ORANJE NASSAU, CEROBONG UDARA KE MASA LALU (Sebuah Catatan Lawatan Sejarah Daerah Kalimantan Selatan)