Pancasila, (harusnya) Tua-Tua Keladi

 

Image by <a href="https://pixabay.com/users/sasint-3639875/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1807524">Sasin Tipchai</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1807524">Pixabay</a>

Hari ini, sejenak kita diajak untuk mengingat, bahwa Pancasila sudah menginjak usia 76 Tahun, sejak pertama kali di cetuskan pada 1 Juni 1945. Andai Pancasila adalah manusia, maka  di suia tujuh puluh enam tahun dia bisa dikategorikan sepuh, meski berada sedikit di atas angka harapan hidup orang Indonesia yang berada di kisaran 71, 4 tahun.

Sebagai panduan nilai hidup berbangsa, kita berharap pada usia Pancasila menjadi sesuatu yang disebut Tua-tua Keladi, makin tua makin jadi. Semakin tua semakin berarti. Apalagi jika dibandingkan dengan The Little Soekarno dari negara jiran, Mahathir Mohammad yang pada usia 92 tahun kembali terpilih untuk berkuasa sebagai perdana Menteri. Pancasila tentu bisa mencapai lebih dari itu.

Sayangnya, hari ini kita memperingati lahirnya Pancasila yang ke -76 dalam suasana ironi berupa  kegaduhan. Dimana kegaduhan tersebut melibatkan  Pancasila sebagai objeknya. Kegaduhan yang bersumber dari Tes Wawasan Kebangsaan untuk para Penyidik dan karyawan KPK, sebuah lembaga yang mengemban harapan tinggi untuk hadirnya kehidupan berbangsa yang bebas dari korupsi.

 Pilih Al-Qur’an atau Pancasila? (sumber berita di sini ) Demikian salah satu butir pertanyaan dalam tes tersebut. Pertanyaan yang tentu menjadi sebuah  kontroversi, tanpa perlu ribet atau bersusah payah mengatur sudut pandang, sifat pertanyaan tersebut  mengarahkan untuk memilih salah satu dengan me-nafi-kan yang lain dengan dasar kategori lebih baik, lebih utama, atau apapun itu yang menyatakan salah satu lebih tinggi dibanding yang lain. Tidak bisa kedua-duanya.

Secara umum pertanyaan tersebut menghadirkan Al-Qur'an sebagai simbol dari agama, dan Pancasila sebagai simbol dari negara. Jika melihat kembali rekam sejarah yang menyatakan bahwa sejak dahulu kita hidup berdampingan erat dengan agama tentu menjadikan pertanyaan tersebut tidak bermakna apa-apa kecuali sebuah upaya yang dapat memicu perpecahan.

Bahwa antara agama dan Pancasila adalah bukan sesuatu setara hingga dapat dibandingkan seumpama warna hitam dengan putih. Agama adalah terkait dengan keyakinan dan sikap spiritual yang menjadi jalan hidup manusia, terkait pada hal sebelum lahir dan sampai pada setelah tidak lagi berada di alam dunia, lepas dari sekat geografi apalagi politik.

Sedangkan Pancasila adalah sebuah falsafah terkait bagaimana kita hidup sebagai seorang warga negara Indonesia. Dia terikat erat dengan Indonesia sebagai sebuah negara. Jika ternyata ditakdirkan Indonesia harus bubar dan menjadi sebuah negara yang baru, maka Pancasila juga akan turut sirna bersamanya, dan digantikan denganbentuk falsafah yang lain.

Sekali lagi membenturkan keduanya, sekali lagi sungguh tak elok. Lihatlah  dan pelajari lah sejarah. Pancasila lahir dari jiwa bangsa yang begitu erat dengan nilai-nilai agama. Pencetusnya menempatkan hal tersebut pada urutan paling pertama dalam Pancasila. Maka membenturkannya seumpama mengadu antara seorang anak dengan ibu yang melahirkannya, atau seperti menghasut seorang anak untuk melawan orangtua yang mengasuh dan membesarkannya.

Ketuhanan Yang Maha Esa! Maka sudah jelas bahwa menjalankan agama adalah sebuah sikap yang sesuai dengan Pancasila, dan menjalankan Pancasila tidak akan menjauhkan nila-nilai agama. Keduanya seiring-sejalan, tidak bisa dipisahkan apalagi saling me-nafi-kan satu dengan yang lain.

Jika revolusi Prancis dijiwai oleh semangat  liberte, egalite, raternite, maka revolusi Indonesia melahirkan Pancasila yang mencita-citakan tercapainya keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran dengan nilai-nilai agama sebagai landasannya utamanya.

Alih-alih bersifat membangun, pertanyaan tersebut adalah sebuah hal yang kontraproduktif. Tidak mendatangkan kebaikan apapun,  kecuali kegaduhan yang menyita waktu. Sementara ada hal-hal besar yang harus kita pikir dan kerjakan.

Menjadikan Pancasila sebagai sarana yang mempersatukan, menguatkan kembali jalinan bangsa yang kita sadari semakin renggang, adalah hal besar yang harus kita kerjakan. Pancasila memberikan kita kesempatan untuk hidup setara, dan sejahtera, bersaudara sebagai sebuah bangsa, meski secara lahir berbeda-beda.

Jika akhir-akhir ini kita merasa berjarak antara satu dengan yang lain sebagai elemen bangsa, maka mari kita jadikan Pancasila sebagai sesuatu yang mendekatkan, melalui sikap saling menghormati dan menghargai. Sehingga dengan sendirinya Pancasila akan menjadi payung yang meneduhkan sekaligus melindungi.

Sebagai manusia kita diberi karunia berupa  akal dan fikiran, yang dengannya kita bisa membedakan dan juga memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Maka menjadikan Pancasila sebagai payung yang merekatkan sekaligus melindungi menjadi yang sangat mudah.

Pancasila itu mengajak, bukan memerintah. apalagi memukul.

Tinggal pilihannya, mau atau tidak?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Resolusi? (2)

SITUS TAMBANG ORANJE NASSAU, CEROBONG UDARA KE MASA LALU (Sebuah Catatan Lawatan Sejarah Daerah Kalimantan Selatan)