Pancasila, (harusnya) Tua-Tua Keladi
Hari
ini, sejenak kita diajak untuk mengingat, bahwa Pancasila sudah menginjak usia
76 Tahun, sejak pertama kali di cetuskan pada 1 Juni 1945. Andai Pancasila
adalah manusia, maka di suia tujuh puluh
enam tahun dia bisa dikategorikan sepuh, meski berada sedikit di atas angka
harapan hidup orang Indonesia yang berada di kisaran 71, 4 tahun.
Sebagai
panduan nilai hidup berbangsa, kita berharap pada usia Pancasila menjadi
sesuatu yang disebut Tua-tua Keladi, makin tua makin jadi. Semakin tua
semakin berarti. Apalagi jika dibandingkan dengan The Little Soekarno dari
negara jiran, Mahathir Mohammad yang pada usia 92 tahun kembali terpilih untuk
berkuasa sebagai perdana Menteri. Pancasila tentu bisa mencapai lebih dari itu.
Sayangnya,
hari ini kita memperingati lahirnya Pancasila yang ke -76 dalam suasana ironi
berupa kegaduhan. Dimana kegaduhan
tersebut melibatkan Pancasila sebagai
objeknya. Kegaduhan yang bersumber dari Tes Wawasan Kebangsaan untuk para
Penyidik dan karyawan KPK, sebuah lembaga yang mengemban harapan tinggi untuk
hadirnya kehidupan berbangsa yang bebas dari korupsi.
Pilih Al-Qur’an atau Pancasila? (sumber berita di sini ) Demikian salah
satu butir pertanyaan dalam tes tersebut. Pertanyaan yang tentu menjadi sebuah kontroversi, tanpa perlu ribet atau bersusah
payah mengatur sudut pandang, sifat pertanyaan tersebut mengarahkan untuk memilih salah satu dengan me-nafi-kan yang lain dengan
dasar kategori lebih baik, lebih utama, atau apapun itu yang menyatakan salah
satu lebih tinggi dibanding yang lain. Tidak bisa kedua-duanya.
Secara umum pertanyaan tersebut menghadirkan Al-Qur'an sebagai simbol dari agama, dan Pancasila sebagai simbol dari negara. Jika melihat kembali rekam sejarah yang menyatakan bahwa sejak dahulu kita hidup berdampingan erat dengan agama tentu menjadikan pertanyaan tersebut tidak bermakna apa-apa kecuali sebuah upaya yang dapat memicu perpecahan.
Bahwa
antara agama dan Pancasila adalah bukan sesuatu setara hingga dapat
dibandingkan seumpama warna hitam dengan putih. Agama adalah terkait dengan keyakinan
dan sikap spiritual yang menjadi jalan hidup manusia, terkait pada hal sebelum
lahir dan sampai pada setelah tidak lagi berada di alam dunia, lepas dari sekat
geografi apalagi politik.
Sedangkan
Pancasila adalah sebuah falsafah terkait bagaimana kita hidup sebagai seorang
warga negara Indonesia. Dia terikat erat dengan Indonesia sebagai sebuah negara. Jika
ternyata ditakdirkan Indonesia harus bubar dan menjadi sebuah negara yang baru, maka Pancasila juga akan turut
sirna bersamanya, dan digantikan denganbentuk falsafah yang lain.
Sekali lagi membenturkan
keduanya, sekali lagi sungguh tak elok. Lihatlah dan pelajari lah sejarah. Pancasila lahir dari
jiwa bangsa yang begitu erat dengan nilai-nilai agama. Pencetusnya menempatkan
hal tersebut pada urutan paling pertama dalam Pancasila. Maka membenturkannya
seumpama mengadu antara seorang anak dengan ibu yang melahirkannya, atau seperti menghasut seorang
anak untuk melawan orangtua yang mengasuh dan membesarkannya.
Ketuhanan
Yang Maha Esa! Maka sudah jelas bahwa menjalankan agama adalah sebuah sikap
yang sesuai dengan Pancasila, dan menjalankan Pancasila tidak akan menjauhkan
nila-nilai agama. Keduanya seiring-sejalan, tidak bisa dipisahkan apalagi saling
me-nafi-kan satu dengan yang lain.
Jika
revolusi Prancis dijiwai oleh semangat liberte,
egalite, raternite, maka revolusi Indonesia melahirkan Pancasila yang
mencita-citakan tercapainya keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran dengan nilai-nilai
agama sebagai landasannya utamanya.
Alih-alih
bersifat membangun, pertanyaan tersebut adalah sebuah hal yang kontraproduktif.
Tidak mendatangkan kebaikan apapun, kecuali kegaduhan yang menyita waktu. Sementara ada
hal-hal besar yang harus kita pikir dan kerjakan.
Menjadikan
Pancasila sebagai sarana yang mempersatukan, menguatkan kembali jalinan bangsa
yang kita sadari semakin renggang, adalah hal besar yang harus kita kerjakan. Pancasila memberikan kita kesempatan untuk
hidup setara, dan sejahtera, bersaudara sebagai sebuah bangsa, meski secara
lahir berbeda-beda.
Jika
akhir-akhir ini kita merasa berjarak antara satu dengan yang lain sebagai
elemen bangsa, maka mari kita jadikan Pancasila sebagai sesuatu yang
mendekatkan, melalui sikap saling menghormati dan menghargai. Sehingga dengan
sendirinya Pancasila akan menjadi payung yang meneduhkan sekaligus melindungi.
Sebagai
manusia kita diberi karunia berupa akal
dan fikiran, yang dengannya kita bisa membedakan dan juga memilih mana yang
baik dan mana yang buruk. Maka menjadikan Pancasila sebagai payung yang merekatkan
sekaligus melindungi menjadi yang sangat mudah.
Pancasila itu mengajak, bukan memerintah. apalagi memukul.
Tinggal
pilihannya, mau atau tidak?
Komentar
Posting Komentar