Kondangan dan Street Performance di Banjarmasin
Street Performance |
Hari minggu
seyogyanya adalah hari libur dan bersantai, namun pada kenyataannya hari Minggu
bisa menjadi hari yang tidak kalah sibuknya dengan hari lain. Terutama
berkaitan dengan undangan resepsi perkawinan saudara, kawan atau tetangga yang
seringkali hadir berbarengan sampai lima tempat. Minimal perlu waktu dari pukul
09 pagi sampai pukul 13.00 untuk mendatanginya.
Meski
demikian, perbedaannya sangat jelas terletak pada nilai silaturahmi yang
terkandung di dalamnya serta ketika menghadirinya kita bersama keluarga
(minimal istri) sedang saaat bekerja kita melewatinya sendiri dengan rekan di
kantor tanpa diserta keluarga.
Dua undangan
perkawinan pada hari minggu ini, membuat Saya harus mengkalkulasi agar dapat
membuat estimasi (ter-vickynisasi ?) waktu, agar gowes tetap bisa terlaksana dan
undangan terpenuhi semua.
Walhasil
akhirnya diputuskan secara aklamasi oleh diri sendiri, ada waktu sekitar tiga
jam untuk gowes dengan ketentuan bahwa pukul enam pagi sudah harus turun dan balik
kerumah minimal pukul 08.30 agar cukup waktu buat istirahat sebentar dan mandi
untuk kemudian berangkat kondangan pukul 09.30.
Ba’da Shubuh
yang gelap (karena mati lampu) persiapan gowes pun dilakukan dimulai dengan
mengeluarkan si Biru Seli United Stylo 16” dan melakukan pengecekan kesiapan
dan kelengkapan perjalanan, seperti ban, rem, pompa, olie mesin, sabuk pengaman
dan STNK ( koq jadi kayak operasi Zebra ?).
Namun seperti
kata orang-orang bijak, manusia berencana tapi Allah yang punya ketentuan. Rencana
gowes minggu pagi ini, lagi-lagi hampir batal oleh penampakan secara visual
rombongan awan hitam tebal yang berarak perlahan menyelimuti langit Sungai
Lulut. Walhasil perlu sedikit delay untuk
memastikan apakah keadaan cuaca mendukung atau tidak.
Alhamdulillah
setelah sedikit killing the time, dengan pergi ke warung beli nasi kuning buat sarapan pasukan di rumah Matahari perlahan mulai
nampak dengan sinarnya yang perlahan menjadi terang sebagai pertanda bahwa mendung
pagi ini tidak akan berakhir dengan hujan.
Setelah
melakukan satu putaran victory lap 😃 memutari kawasan Masjid Raya Sabilal Muhtadin
Banjarmasin yang menjadi area Car Free Day Saya memutuskan untuk mampir
pada tempat dimana biasa nya Om-Om Seli Banjarmasin mangkal yaitu di area depan
pintu pagar air mancur.
Tempat ini cukup
strategis buat ngumpul-ngumpul atau buat promosi produk dan perusahaan. Setiap
pekan pasti ada perusahaan atau instansi yang memilih tempat ini sebagai titik
untuk melakukan promosi. Setelah pada minggu kemaren bapak-bapak polisi ngumpul
disini untuk sosialisasi penerimaan calon anggota polisi, pada hari ini ada
rumah pijat refleksi yang melakukan promosi berupa pijat gratis selama 10 menit.
Pagi ini
sedikit menjadi sedikit berbeda, diawali dengan terdengarnya lantunan music
tradisional Jawa yang diputar dari sebuah perangkat sound system sederhana yang
diletakkan pada sebuah sepeda.
Sound System Portable |
Pada sebuah
sudut tampak seorang bocah pria berusia sekitar tujuh tahun memakai kostum
penari didominasi warna hitam dengan mengepit sebuah anyaman berbentuk kuda,
dan tangan kanan memegang pecut berhias warna warni siap memasuki arena yang
pada bagian depannya diletakkan sebuah kardus berwarna coklat.
Sebuah pecutan
yang keras dari seorang pria paro baya ( yang sepertinya ayah dari anak
tersebut) menjadi pertanda dimulainya pertunjukan. Dengan menggunakan kaos kaki panjang berwarna
hitam pekat dengan lambang tunas kelapa berwarna kuning yang bolong pada bagian
tumit sebelah kiri, serta sebuah gelang dengan lonceng kecil pada pergelangan
kaki kanan, Si bocah berlenggak lenggok mengikuti irama sambil memainkan
pecutnya dan menghasilkan bunyi yang saling bersahutan dengan pecut yang
dipegang oleh ayahnya.
Kardus coklat |
Tampak
beberapa warga mengabadikan dengan kamera smartphonenya, serta beberapa yang
lainnya memasukkan beberapa rupiah kedalam kotak kardus yang disediakan. Seorang
anak laki-laki lainnya (sepertinya kakak dari si penari) berdiri mengawasi dan
membantu menyiapkan pertunjukan tersebut.
Beberapa lagu
tampak telah berganti mengiringi, dari tradisional sampai Cita Citata dan Jaran
Goyangnya Nela Kharisma hingga akhirnya bocah penari terduduk dengan ekpresi
yang menunjukkan dia mencoba untuk tetap menari demi mendatangkan lembar-lembar
rupiah untuk keluarganya.
Street
Performance! Spontan dalam hati saya berpikir demikian setelah terlintas
penggalan narasi Andrea Hirata yang mengamen dengan cara mengamen menjadi
patung manusia duyung (human statue) Bahwa area Car Free Day di selipi
dengan kegiatan promosi, jualan dan dentuman music dari sepeda yang dilengkapi
dengan sound system, apa yang Saya lihat hari ini adalah sebuah pengecualian.
Jujur saja
Saya sering berkhayal pada saat Car Free Day ada pertunjukan baca puisi, pantomime, teater
jalanan, happening art atau performing art lainnya. Sehingga Car Free Day tidak
saja menjadi sarana olahraga dan rekreasi masyarakat tetapi juga menjadi sarana
unjuk ekpresi cita dan rasa seni warga.
Pertunjukkan
pun diakhiri dengan dengan sound system yang semakin sayup hingga tak terdengar
lagi, mengiringi kayuhan sepeda tiga orang laki-laki yang berjuang untuk
keluarganya…
Banjarmasin,
21 Januari 2018
Komentar
Posting Komentar