PARA PENGENDALI RAKIT : KISAH SI ANAK MAGANG
Sang Pengendali |
Kapan terakhir ke Loksado?
Saran saya, jangan sampai kamu melewatkan sesi bamboo
rafting, jika berlibur ke sini.
Menyusuri aliran sungai Amandit dengan menaiki rakit yang
dibuat dari batang-batang bamboo, dan dilemparkan oleh arus deras menuju ke
riam-riam deras melemparkan percikkan
air sungai nan segar membasahi muka dan tubuh kita, sungguh sebuah sensasi yang
luar biasa!
Bamboo Rafting sendiri awalnya adalah akifitas keseharian
warga Loksado. Mereka membawa batang-batang
bambu untuk dijual ke kota Kandangan dengan cara diikat menjadi satu membentuk
rakit, untuk selanjutnya berlayar mengarungi Sungai Amandit menuju
kota Kandangan.
Entah dari siapa dan kapan, aktifitas ini kemudian dikemas
menjadi sebuah kegiatan wisata petualangan yang menarik bagi wisatawan yang
mengunjungi Loksado.
…
Kali ini, Saya bersama kawan-kawan memutuskan ber-bamboo
rafting sebagai cara untuk menikmati keindahan Loksado.
Pukul setengah delapan pagi, rakit-rakit bamboo yang akan
membawa kami bertualang sudah siap berjejer di pinggir sungai dekat tempat kami
bermalam sebagai titik start.
Rakit-rakit bambu yang disusun dari 16-18 batang bambu, yang disatukan dengan cara di ikat menggunakan tali dari kulit bambu (melihat ini saya langsung ngiluu.. sembilu soalnya...) pada satu batang bambu berdiameter kurang lebih 3 cm sebagai tulang rusuk.
Jumlah batang bambu ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa rakit akan aman (tidak terbalik) namun tetap bisa bergerak lincah disela-sela bebatuan.
Saat masih di arus tenang |
Tepat pukul delapan pagi, pejalanan dimulai,
Masing-masing rakit di naiki oleh tiga atau empat penumpang
(tergantung ukuran body masing2 :P), dan di pandu oleh pria-pria cekatan yang
menjabat sebagai joki (pengemudi), sebuah
istilah yang membuat saya bertanya-tanya dalam hati, istilah ini datang dari
mana ? sebab saya tidak pernah menemukan ada kuda (apalagi) pacuan kuda di
Loksado (mikir), dan berandai-andai bagaimana kalau istilah joki diganti pilot
atau masinis ?
Rakit-rakit bamboo memulai perjalan dengan pelan, menyusuri
bagian sungai yang arusnya masih tidak terlalu deras.
Sementara para joki , dengan sebilah tongkat bambu
mengendalikan rakit untuk berlayar sesuai jalur yang ditentukan tanpa harus
menabrak batu-batu besar yang serinng kali tidak nampak di permukaan
Eit, jangan berharap jalur tersebut adalah sebuah garis
dengan tanda dan rambu-rambu. Jalur tersebut nir-tanda dan hanya ada di dalam
alam bawah sadar para Joki yang muncul berupa bentuk insting yang menggerakkan
tangan-tangan mereka untuk memainkan tongkat bambu untuk mengarahkan rakit yang
kami tumpangi.
Saya berfikir apa yang dilakukan para joki ini mirip dengan
para pembalap motogp atau formula one dengan racing line-nya.
Sesuatu yang abstrak tetapi menjadi sangat realistis sebagai
hasil daripada sebuah aktifitas yang dilakukan berulang kali. Profesional
sekali!
Pada beberapa kesempatan melewti arus yang lumayan tenang,
Saya mencoba mengambil sesi magang menjadi joki. denga sebilah tongkat bambu
cadangan yang selalu tersedia Saya mengambil posisi sebagai co-joki di bagian
belakang untuk membantu mengarahkan ekor rakit untuk sesuai dengan kemauan
bagian haluannya.
Namun jika memasuki arus deras, saya memilih mode non-aktif,
sebab takut kalo rakit tiba-tiba nabrak batu dan nyangkut gara-gara saya salah
ambil keputusan :P (kalo Cuma nyangkut sih, ngak apa-apa, takutnya rakit
terbelah dan kami hanyut terapung di sungai untuk kemudian mengundang tim relawan
datang mencari…)
Si Anak Magang |
Dari kesempatan magang tersebut, Saya melihat para Joki ini bukan
lah kelompok orang-orang yang memegang prinsip hidup “mengalir seperti air” ,
sebab jika prinsip itu mereka pegang maka rakit tidak akan kemana-mana, melainkan nabrak batu untuk kemudan tersangkut.
Dan kalaupun bisa selamat maka perjalanan akan sangat lambat
untuk tiba di tempat tujuan.
…
Rute kami kali ini mengambil titik finish di Hulu Banyu,
Tanuhi dengan waktu tempuh perjalanan sekitar tiga jam.
Sebuah waktu yang cukup leluasa untuk berlayar dan menikmati
pemandangan alam yang berderet di sisi kanan dan kiri sungai.
Hening,
Ladang Penduduk |
Ladang-ladang luas yang terhampar pada punggung-punggung
bukit dengan padi yang menghijau serta taman sayuran disela-selanya, serta pondok-pondok kayu tempat beristirahat.
Kemudian hutan bamboo yang sangat rimbun, tebing-tebing
terjal serta beberapa ekor biawak yang entah sedang bersantai atau menunggu
mangsa.
Pada beberapa tempat, terdapat perkampungan yang tampaknya
berada cukup jauh dari jalan raya dan dihubungkan dengan jembatan gantung.
Lapangan Tempat Proklamasi 17 Mei 1949 di Desa Ni'ih |
Mendekati garis finish, kita melewati sebuah lapangan dengan
pagar yang berhiaskan ornament berbentuk Jangkar lambang Angkatan Laut yang menjadi saksi sejarah dari peristiwa Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Div. IV/A
Pertahanan Kalimantan di bawah pimpinan Hasan Basry (Brigjend,Alm) yang
menunjukkan kesatuan tekad rakyat Kalimantan Selatan untuk tetap menjadi bagian dari RI.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 17 Mei 1949, di desa Ni’ih.
Sebagai reaksi atas hasil perundingan Renville yang menyatakan bahwa Kalimantan
tidak menjadi bagian RI.
Sayangnya, setalah tiba di titik finish saya baru terpikir untuk
meminta joki singgah sebentar di lapangan tersebut untuk melihat lebih dekat
tempat bersejarah tersebut.
Sesal memang datang belakangan !
*nggak sempat mengabadikan saat rakit melewati jeram-jeram yang deras, takut hp terlepas dan jatuh ke aer
Rehat setelah magang :P |
Baca juga tentang Short Trip In Loksado
Komentar
Posting Komentar