Short Trip In Loksado !
Jembatan gantung lama yang menghubungkan Loklahung dengan Malaris |
Finally, setelah
menempuh perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya Saya kembali bisa menginjakkan kaki di
Loksado, sebuah daerah nan elok yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Banjarmasin, namun
perlu waktu sekitar delapan tahun bagi unutk bisa kembali dan menikmati keindahan
tempat ini.
Meski Loksado
lebih dikenal sebagi tempat wisata alam yang indah, namun bagi saya Loksado menawarkan
sesuatu yang lebih dari itu.
Berada di
tengah pegunungan Meratus dengan mayoritas penduduknya berasal dari suku Dayak Meratus, Loksado
menghadirkan sebuah eksotisme budaya yang luar biasa dan menarik untuk
diselami.Nilai budaya dan tradisi yang khas masih nampak dalam aktifitas warga
sehari-hari.
Setelah
istirahat sholat dhuhur dan makan siang, Kami memulai perjalanan untuk
menikmati keindahan Loksado dengan berjalan kaki menuju kea rah desa Malaris dengan
tujuan akhir adalah air terjun Riam Hanai yang berjarak sekitar 3 km dari tempat kami bermalam.
Perjalanan
dimulai dengan menyusuri jalan beraspal yang berakhir pada sebuah jembatan
gantung yang membantu kami menyeberangi sungai berbatu untuk mulai memasuki
desa Malaris. Sebuah bangunan SD yang nampak terawat baik bersama balai desa
dan tempat posyandu seakan menjadi tugu ucapan selamat datang di desa Malaris.
Perjalana
dilanjutkan dengan melalui jalan berbatu yang cukup sejuk karena berada dibawah
rimbun pepohonan dan ditingkahi oleh bunyi aliran air yang membentuk arus
karena terhalang oleh bebatuan.
Sambil
mampir-mampir memetik daun pohon kayu
manis, untuk sekedar memastikan bahwa
aroma yang dikeluarkannya memang aroma wangi kayu manis, bukan aroma jengkol :P.
Oia Loksado
memang dikenal sebagai daerah penghasil kayu manis dalam jumlah besar di daerah
Kalimantan Selatan.
Pohon kayu
manis dapat ditemui dengan mudah di daerah ini, sehingga budidaya dan produksi kayu manis menjadi salah satu mata pencaharian
warga selain berhuma dan menyadap karet.
Disini, kayu
manis sendiri juga mulai di olah menjadi sirup yang menghasilkan minuman segar
dengan aroma khas, yang konon kalau diminum secara rutin akan membantu kita
menghilangkan rasa haus :P
Melewati
rimbun pepohonan , kita akan menemui bangunan pertama sekaligus ikon desa ini
yaitu Balai Malaris.
Di depan Balai Adat Malaris |
Balai adalah
rumah adat khas suku Dayak Meratus. Berupa bangunan besar berbentuk segi empat
dengan dinding dari anyaman kulit bamboo atau papan. Aslinya balai ini
ditempati oleh satu keluarga besar dengan jumlah anggota bisa mencapai 100
orang yang tinggal dalam petak-petak kecil pada balai tersebut.
Balai Malaris
adalah salah satu balai tertua dan terbesar yang ada di daerah Loksado. Sebagai
peninggalan budaya, balai ini tampak di perbaharui pada bagian dinding dan
atapnya dengan dana dari perintah.
Namun
sayangnya balai ini kni kosong, karena generasi penerusnya memilih tinggal di
luar balai untuk mendirikan rumah dalam konsep yang lebih modern
Meski
demikian, infonya balai ini tetap difungsikan sebagai tempat upacara-upara
adat, dan dalam kegiatan tersebut anggota balai kembali berkumpul bersama-sama.
Beberapa
anggota rombongan kami berkesempatan untuk melihat ke sekeliling balai dengan
ditemani oleh seorang penduduk setempat sebagai pemandu.
Selepas
melihat-lihat dan berfoto narsis di depan Balai Malaris, perjalanan dilanjutkan
dan memasuki perkampungan penduduk Malaris.
Pada beberapa teras rumah tampak beberapa duduk-duduk
sambil melakukan aktifitas siang berupa
mengupas kulit keminting (kemiri) dan beberapa sedang menaikkan satu karung
penuh yang berisi jengkol.
Rupanya Loksado sedang mengalami
musim keminting (kemiri)!
Rupanya selain
kayu manis, Loksado juga penghasil buah keminting (kemiri). Dalam perjalanan
kami sering berpapasan dengan sepeda motor yang membawa karung berisi buah
kemiri yang diangkut dari kebun yang berada di dalam hutan.
Sebelum dijual
ke Kandangan atau Banjarmasin, keminting tadi dikupas dulu kulitnya sehingga
hanya tersis bagian bijinya yang berwarna kekuningan saja.
Sebagian
keminting tadi juga merupakan keminting titipan dari tengkulak untuk dikupas
dengan upah sebesar Rp. 2500 per kg.
Dengan modal
sedikit kepo, Saya menyempatkan untuk singgah dan berbincang dengan mereka. Dengan
keramahan yang menjadi ciri khas masyarakatnya , mereka melayani dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
dari kami yang berstatus minim pengetahuan soal keminting😂
Seorang bocah dari Malaris sedang memecahkan kulit kemiri dengan palu, untuk kemudian dikupasoleh ibunya |
Kawan, kalau
kau berkunjung ke Loksado, jangan cuman menikmati panorama alamnya saja.. tapi
juga berinteraksi lah dengan penduduknya.. dan rasakan keramahan dan kehangatan
yang tulus dari mereka.
Hingga dapat
kita salami betapa bersahajanya kehidupan mereka. Keramahan dan kehangatan yang
muncul secara alami, sebagai hasil bentukan dari lingkungan yang mempengaruhi
setiap detik dan tarikan nafas kehidupan mereka.
Akhirnya kami
tiba di sebuah jembatan gantung tua yang menghubungkan ujung kampung Malaris
dengan air terjun pertama yang kita datangi yaitu Riam Barajang.
Beberapa tahun
yang lalu, pada Riam Barajang ini di bangun instalasi PLTA yang menghasilkan
daya listrik untuk mengnerangi Loksado pada waktu malam.
Selanjutnya
sekita 150 m dari Riam Barajang, dengan menyusuri jalan setapak membelah kebun
karet kita akan menemui sebuah air terjun lainnya yang bernama Riam Hanai. Dan
di Riam Hanai inilah pusat segala kegiatan basaha-basahan rombongan kami, untuk
selanjutnya pulang ke penginapan dengan basah kuyup!
Pilih mana kanan atau kiri? Kiri 2 jam pejalanan, kalau kanan hanya 10 menit 😀 |
Komentar
Posting Komentar