Aceh, Emansipasi dan Kejayaan dalam Tiupan Samudera
Pukul 06.30 WIB, selepas sarapan pagi kami para
pendamping dan peserta kegiatan Lawatan Sejarah Nasional ke 16 tahun2018 telah
bersiap dengan seragam dan perlengkapan masing-masing.
Sementara para penitia melakukan sesi charging kepada
para peserta, kami para pendamping menjalani sesi “ramah-tamah” ngobrol dengan
sesama.
Sedangkan penumpang bis enam, memulai aktifitas dengan
pengecekan daftar penumpang oleh panitia, yang tampaknya mulai hafal wajah dan
nama kami para penghuni kursi bis nomor enam.
Bis nomor enam sedikit berbeda dengan bus lainnya
karena penumpangnya hanya para pendamping (para
guru dan pendamping dari BPNB daerah) dan peserta dari komunitas-komunitas
lokal Aceh (sejarah dan blogger).
Karena struktur penumpang demikian, maka hampir disetiap
sesi terjadi perubahan ada daftar manifest penumpang dengan hadirnya beberapa
wajah baru.
...
Secara perlahan bus yang kami naiki mulai bergerak
membawa kami menuju Lamreh, Krueng Raya yang terletakdi Gampong Lamreh,
KruengRaya. Kabupaten Aceh Besar,sekitar 30 kilometer dari kota Banda Aceh.
Perjalanan hari ini melewati route yang sangat
menarik, karena melewati derah-daerah yang hancur akibat gelombang Tsunami yang
menghantam Aceh pada tahun 2004 yang lalu. Pada beberapa tempat namak sisa-sisa
bangunan, dan hamparan tanah yang ditumbuhi belukar yang dahulunya merupakan pemukiman
padat penduduk.
Memasuki wilayah Aceh Besar, kami memasuki jalur yang
mulai naik-turun. Pada sisi sebelah kiri terdapat hamparan garis pantai yang
sangat panjang, sedangkan pada sebelah kanan berupa perbukitan yang ditumbuhi
oleh semak belukar.
Secara perlahan pikiran saya melayang ke dalam kisah
Delisa yang di tulis oleh Tere Liye. Tempat ini mempunyai kemiripan geografis
dengan tempat dimana Delisa terdampar selama beberapa hari setelah diseret
gelombang tsunami.
Memasuki kawasan pelabuhan Malahayati, bus-bus besar berbelok
ke kiri, sedang bus enam yang kami naiki berbelok ke kanan dan terus menyusuri
jalan kecil sejauh lima ratus meter hingga mencapai sebuah area parker yang
cukup luas didepan pintu masuk menuju komplek makam Laksmana Malahayati.
Uniknya, makam Laksamana Malahayati
sendiri terletak di bagian punggung bukit Lamreh, untuk mencapainya kita harus
menyusuri beberapa ratus anak tangga yang dibuat berkelok mengikuti kontur bukit sehingga
membantuk jalur yang tidak terlalu terjal.
Putih kapur menjadi warna mayoritas
dari keseluruhan komplek makam ini, dengan sebuah bangunan berbentuk semacam
plaza menajdi tempat dimana makam Laksmana Malahayati berada. Tiga pasang batu
nisan berwarna dengan bentuk yang khas menjadi pusat dari seluruh bangunan yang
terdapat pada area ini.
Setelah pembacaan doa ziarah yang
dipimpin oleh Mas Andi, seluruh peserta mendengarkan paparan dari nara sumber
berkaitan dengan keberadaan makam tersebut dari sudut pandang arkeologis, serta
peran Laksmana Malahayati dalam sejarah Aceh.
Laksmana Malahayati sejatinya memang
mewarisi darah militer, Ayah dan kakeknya adalah Laksmana Laut di kerajaan Aceh. Malahayati mengusulkan untuk membentuk sebuah
armada tempur yang anggotanya adalah para wanita Janda dari para prajurit Aceh
yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis.
Dengan armada yang dibentuknya serta
kepimimpinannya, Aceh tumbuh menjadi kerajaan dengan armada laut yang begitu
kuat. Bahkan selain memegang peran sebagai laksmana, Malahayati juga diberi
amanah sebagai kepala intelijen negara. Sebuah jabatan yang sangat strategis
sekaligus menggambarkan kemampuan dari seorang Laksmana Malahayati.
Selesai mengunjungi makam Laksmana
Malahayati, kami menaiki bus dan menuju ke lokasi berikutnya di desa Beurandeh,
Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
tempat dimana masih berdiri sebuah benteng yangs angat kokoh peninggalan
Sultan Iskandar Muda.
Sekitar seratus meter menyusuri jalan
kecil, akhirnya sampai juga ke situs ini. Sebuah bangunan nan kokoh yang sangat
khas sebgai tempat pertahanan. Dari sisi luar kita hanya bisa melihat sebuah
tembok besar yang tinggi dengan beberapa jendela kecil berbentuk kubah sebagai
tempat melakuan pengintaian.
Benteng ini terletak menghadap ke arah
pantai yang terletak kita-kira dua ratus meter di depannya. penasaran dengan
bagaimana isi didalamya, saya menyusur dinding benteng ke arah pantai, kemudian
berbelok ke kanan menyusur tembok benteng. Pada sisi benteng yang menghadap kea
rah sungai, terdapat pintu masuk yang berbentuk anak tangga.
Di dalam benteng tampak dua buah
sumur yang di lengkapi dinding berbentuk
lingkaran setinggi dada. serta dibagian tengahnya terdapat tempat yang lebih
tinggi dengan beberapa dinding yang sepertinya membentuk beberapa ruangan.
Pada sisi sebelah kanan, terdapat
sebuah sungai dan diseberangnya terlihat beberapa rumah penduduk, sebuah masjid
serta tugu penanda ketinggian air saat terjadi gelombang tsunami. sementara di
luar pagar yang membatasi area benteng nampak terlihat sebuah lantai semen bekas sebuah bangunan
yang rusak akibat tersapu gelombang tsunami yang melanda kawasan ini.
Bisa dibilang bahwa kondisi benteng
ini sekitar 60% sesuai dengan kondisi aslinya. Sambil menyusuri setiap sisinya,
saya membayangkan kira-kira seperti ini pula kondisi awal benteng Tabanio yang
ada di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, karena kondisi nya sekarang
hanya berupa sebuah area dengan beberapa gundukan tanah dan struktur bata saja
tanpa kelihatan bentuk aslinya. Sesuatu yang patut disayangkan, sebab hilangnya bentuk asli dari benteng
tersebut turut membawa banyak cerita sejarah yang terjadi disekitar benteng
Tabanio, Pelaihari.
Kembali ke Aceh, benteng iskandar
Muda ini hanya salah satu dari beberapa benteng yang ada di Aceh danrata-rata
kondisinya masih utuh, sehingga kita bisa mengamati secara langsung kemegahan
dan kekuatan sebuah peninggalan sejarah.
Benteng berikutnya yang kami kunjungi
adalah Benteng Indrapatra, yang uniknya adalah peninggalan dari jejak Hindu di
tanah
Aceh. ketika Islam berkuasa benteng Indrapatra ini tetap difuungsikan sebagai
basis pertahanan Selat Malaka bersama benteng Iskandar Muda.
Bneteng Indra Patra |
Benteng Indrapatra terletak di Ladong,
Aceh Besar, 23 km dari Banda Aceh. Terdiri dari dua buah benteng yang
berdekatan dengan dimensi 70 x 70 meter,
serta tinggi dinding 3,70 meter. Memasuki bagiian dalam benteng kita akan
menemukan tiga buah sumur yang diberi tembok pelindung denga penutup seperti
stupa.
dengan kedudukannya yang menghadap
Selat Malaka, benteng ini merupakan salah satu basis utama pertahanan Aceh
menghadapi kekuatan Portugis. Selain itu , benteng Indrapatra ini menjadi bagian dari Aceh Lhee Sagoe
(Segi Tiga Aceh) sebagai titik
pertahanan inti Aceh bersama Indrapurwa dan Indrapuri.
Kawasan benteng Idnrapatra kini juga
difungsikan sebagai daerah wisata, dimana pada sepanjang bibir pantai terdapat
bangunan pondok-pondok kayu tempat pengunjung bersantai menikmati keindahan
suasana.
Melepaskan pandangan ke arah Selat Malaka |
Separuh perjalanan kami di hari
kedua, bisa dikatakan merupakan napak tilas yang menegaskan betapa Aceh
merupakan sebuah geopolitik yang sangat kuat dan berpengaruh dengan kekuatan
pertahanan dan angkatan lautnya yang sangat kuat.
kedudukan tersebut juga tidaklah
didominasi oleh kaum lelaki, melainkan juga memberi panggung bagi perempuan
untuk mengambil peran penting dalam politik dan militer. Laksamana
Keumalahayati merupakan siatu sosok yang menjadi figure utama, namun dibalik
itu ada ratusan perempuan yang juga mempunyai peran besar dalam sebuah kesatuan
armada laut Aceh.
Baca juga tulisan sebelumnya tentang Aceh di :
Alhamdulillah, ulasan tentang acehnya keren mas! Saya dah qatam bin tamat tadi....
BalasHapusSeru yang di intimidasi sapi...he...he... ilustrasinya dramatic full!
Kapan bisa maen kesana ya....
Hehe...
HapusAlhamdulillah kalau seru, sebab aslinya memang tegang (takutan jer) gara-gara sapi.
Terima kasih ya sudah tuntung baca tulisan ulun, jadi merasa terhormat.
Pengen jua balik ke sana lagi nah..