Aceh, Keistimewaannya Ada Pada Semua Sudut...



 
Bandar Udara Internasional Sultan Iskanda Muda, Banda Aceh
Tidak ada daerah yang begitu istimewa dalam sejarah Indonesia, melainkan Aceh. Semenjak sejraha negeri ini digelar, Aceh selalu hadir dalam setiap bab dan sudut pandang tentang negeri ini.  Aceh menjadi begitu familiar oleh siapa saja.

Berkunjung ke Aceh, merupakan salah satu mimpi dalam kehidupan Saya, yang entah melalui cara apa untuk mewujudkannya. Hingga kesempatan tersebut akhirnya datang dalam bentuk keikutsertaan dalam kegiatan Lawatan Sejarah Nasional ke 16 yang diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah, Kementrian Pendidikan Nasional yang bertempat di Propinsi Aceh 27 April sampai dengan 1 Mei 2018.


Kesan pertama tentang Aceh yang tertanam kuat dalam benak Saya, adalalah pada hampir tiga puluh tahun lalu, kakak perempuan saya menyampaikan bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah dan Banjarmasin adalah teras belakang Mekkah. Penjelasannya begitu sederhana, yaitu julukan tersebut menunjukkan bahwa Aceh adalah daerah yang kuat keislamannya.

Sejak saat itu, saya merasa begitu dekat dengan Aceh, menyebut  Aceh seperti menyebut kampung halaman sendiri, dan secara subjektif mengganggap bahwa kehidupan masyarakat Aceh sama dengan kehidupan masyarakat kampung saya, yang berada jauh di pedalaman tanah Banjar, Kalimantan Selatan.
Sejak  di Bandara Kualanamu, Medan. Suasana Aceh sudah mulai terasa. Para pramugari mengenakan kerudung , yang entah apapun sebab dan alasannya telah menunjukkan bahwa penerbangan akan mengantarkan kita kepada sebuah tempat yang istimewa, pada alamnya, sejarahnya, sumbangsihnya serta semangatnya.

Lima puluh menit penerbangan menuju Aceh, adalah saat yang tidak boleh terlewatkan. Dari Jendela pesawat yang terbang rendah terhampar deretan punggung pegunungan yang tinggi dan terjal, dengan beberapa aliran sungai berkelok-kelok membentuk garis sebuah lembah.

Hijau dan cenderung misterius. menghadirkan imajinasi yang membawa alam pikiran terbang pada penggalan catatan sejarah di masa lalu. Bahwa, disitulah tempat para pejuang Aceh membentuk jiwa kepahlawanannya, dan menjadikan alam sebagai benteng pertahanan terbaik dalam melawan upaya tegaknya hegemoni kolonial Belanda.

Mendekati kota Banda Aceh, pesawat mengambil jalur memutar melewati sebuah teluk yang cukup luas dan tampak landai. Kali ini imajinasi menghadirkan khayalan tentang pertempuran armada laut kerajaan Aceh melawan Portugis di selat Malaka, serta pendaratan kolosal angkatan perang Belanda di bawah pimpinan Jenderal Kohler pada 6 April 1873 yang menandai sebuah perlawanan maha hebat yang teramat panjang dan melelahkan bagi Belanda.

Saat roda pesawat menyentuh aspal landasan pacu Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, menjadi penanda bahwa kami telah menapakkan kaki di tanah rencong. 

Selasai urusan di bagian pengambilan bagasi, dengan menaiki bus, kami menyusuri jalan pintas menuju tempat menginap di asrama haji. Secara sekilas bentang alam dan sosial kondisi Aceh mirip dengan daerah Banjarbaru. Namun 
 
Ketika kopi sedang disiapkan untuk dinikmati
Aceh Is Kopi…

Demikian salah sorang pemateri dalam seminarnya menyebut demikian, dan tentunya bukanlah tanpa alasan, melainkan sesuatu yang berdasarkan kenyataan. Warung-warung kopi berukuran ukuran yang cukup luas dengan deretan bangku dan meja yang dipenuhi para pria sangat mudah ditemui.

Kopi adalah tradisi, kiranya demikian dalam masyarakat Aceh. Tradisi yang terbangun lama hingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh. Kopi adalah kebanggaan serta kekayaan.  Tradisi kopi merupakan bentuk penghargaan masyarakat Aceh terhadap kekayaan alamnya.  Alam Aceh menjadi tempat yang menghasilkan kopi terbaik dan mendatangkan keuntungan ekonomi yang tidak sedikit.

Dari Aceh, oleh Aceh dan untuk Aceh, demikian kira-kira yang bisa disimpulkan dari tradisi kopi dalam masyarakat Aceh.
 
Kopi Aceh dalam gelas kaca,cita rasa yang membuat kegundahan sirna
Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah beroperasinya bis yang melayani jalur dalam kota Banda Aceh.

Dan menurut saya ini adalah sesuatu yang luar biasa, mengingat di Banjarmasin layanan transportasi public hanya lah angkot yang semakin tergerus dengan kendaraan pribadi serta layanan transportasi  berbasis aplikasi.

Pada beberapa tempat dalam jarak tertentu berdiri halte tempat persinggahan Trans Koetaradja yang mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2016.

Tersedianya layanan transportasi publik ini menurut saya sangat memudahkan warga dalam beraktifitas, sekaligus juga menjadi wujud usaha pemerintah kota Aceh untuk memberikan pelayanan terbaik bagi warganya.
 
Halte Bus Trans Koetaradja, Banda Aceh
Beda kota beda budaya, demikian kira-kira adanya. Hal lain yang cukup unik di kota ini adalah, kita bisa dengan mudah menemukan pengendara roda dua yang tidak menggunakan helm  dan melintas di jalan raya dengan perasaan yang tenang dan damai…😅😂

Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, kota Banda Aceh juga dikelilingi oleh lahan pertanian berupa persawahan yang diselingi dengan rimbun rumpun tanaman kelapa. 

Landskap tersebut dilengkapi dengan barisan bukit yang memanjang dengan gunung Seulawah yang legendaris sebagai landmarknya menjadikan Aceh tampak begitu istimewa dari semua sudut pandang.
 
Gunung Seulawah
Aceh adalah istimewa, kota ini adalah monument abadi sebuah kepahlawanan, ketegaran dan juga persatuan. Aceh telah melewati banyak cobaan dan ujian, namun tetap mampu berdiri hingga kini. meski kadang tertatih, Aceh telah memberi sumbangsih tak terhingga bagi negeri ini…

Baca sambungannya di sini :
Aceh, dan Pintu-Pintu Ke Masa Lalu











Komentar

  1. di Aceh, kalau sudah terlalu banyak Razia kenderaan bermotor, artinya Aceh sedang tidak aman Pak, dan masyarakat pasti akan protes hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. berarti benar ya mas Yudi Randa, Aceh memang istimewaaa...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah Resolusi? (2)

SITUS TAMBANG ORANJE NASSAU, CEROBONG UDARA KE MASA LALU (Sebuah Catatan Lawatan Sejarah Daerah Kalimantan Selatan)