Aceh dan Pintu-Pintu Ke Masa Lalu (1)
Aceh adalah salah satu tempat dengan
sejarah yang teramat panjang di Indonesia. Sejarah tersebut membentang dari masa
pra aksara sampai dengan masa sekarang. Ada banyak tokoh dan peristiwa besar
yang muncul dan terjadi di Aceh. Hingga akhirnya kemanapun kita menjelajah,
tempat-tempat bernilai historis akan dapat kita temui. Seumpama pintu-pintu
yang siap mengantarkan kita menyelinap ke masa lalu.
Sejarah Aceh yang teramat panjang
tentunya tidak bisa dipisahkan dari kondisi geografisnya. Aceh mempunyai letak yang
begitu strategis, berada di ujung barat pulau Sumatera telah menjadikan Aceh
sebagai daerah terdepan dalam persentuhan dengan pihak luar.
Nilai kebudayaan yang dari dari luar
kemudian diterima dan berinteraksi dengan nilai-bnilai budaya Aceh, selanjutnya
disebarkan ke seluruh wilayah nusantara oleh
ulama dan pedagang Aceh dengan tentunyamembawa cita-rasa budaya Aceh.
Dengan demikian maka wajarlah banyak
yang berpendapat dan sepakat bahwa Aceh telah menyumbangkan begitu banyak bagi
perkembangan negeri ini, dari sejak bernama nusantara hingga kini sebagai
bangsa Indonesia.
Perjalanan pertama kami menjelajah
Aceh adalah menuju sebuah desa yang terletak di Kabupaten Aceh Besar, yaitu Desa
Meureu. Tempat dimana Tengku Cik Di Tiro, seorang pahlawan nasional dari Aceh
di makamkan
Namun pintu ke masa lalu pertama yang
kami temui bukanlah makam ini. melainkan sebuah monumen berbentuk pesawat
tempur jenis Hawk 200 milik Angkatan Udara.
Monumen ini dibangun untuk mengenang
Maimun Saleh penerbang pertama asal Aceh yang lahir desa Anaeuk Galong, tempat monument
tersebut dibangun. Maimun Saleh sendiri gugur dalam usai 25 tahun dalam sebuah
kecelakaan pesawat di Bogor, Jawa Barat.
Karena bukan tujuan, maka monument ini
hanya dapat kami nikmati dari jendela bus dan cerita tour guide yang
mendampingi.
Setelah melewati masjid Indrapuri, perjalan
secara pelahan memasuki jalan yang mulai menyempit sehingga laju bus yang kami
tumpangi menjadi lebih pelan.
Di kanan dan kiri jalan mulai tampak
rumah-rumah panggung khas Aceh yang tetap bertahan diantara deretan rumah
bergaya modern lainnya, tampak beberapa warung kopi yang dipenuhi pengunjung
yang melambaikan tangan kepada kami para
penumpang bus. Sebuah keramahan yang orisinil …
Setelah sekitar 30 menit berjalan
pelan, dan dipandu oleh seorang wanita dengan sepeda motor matic, rombongan
kami tiba disebuah pertigaan, dan berbelok ke
kanan, kea rah sebuah masjid besar. sekitar 200 meter dari masjid
tersebut terdapat sebuah lapangan parkir yang cukup luas dengan dinding bata
putih besar bertuliskan Makam Pahlawan Nasional Al Mudjahid Tengku Tjhik Di
Tiro.
Jatuhnya kutaraja ke tangan Belanda,
membuat pihak istana harus keluar meninggalkan istana dan mengunsi ke daerah
pedalaman.
Peristiwa ini menjadi titik
beralihnya komando perjuangan rakyat Aceh, dari kelompok bangsawan kepada
kelompok ulama yang dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro. Tengku Cik Di Tiro
membangun basis perlawananannya di Desa Meureu.
Komplek makam ini menyajikan
pemandangan yang sangat menarik dimana hamparan sawah dengan saluran air, serta
rumpun kelapa dengan deretan atap rumah penduduk di kejauhan. Serta deretan
pegunungan menjadi sebuah latar yang melengkapi keindahan suasana pagi yang
cerah tersebut.
Pemandangan di depan komplek makam Tengku Cik Di Tiro |
Sambil menunggu kedatangan rombongan
lainnya, Saya mengeksplore kawasan sekitar makam dengan berjalan ke arah masjid
dan berbelok ke arah kanan.
Sambil mengabadikan dengan kamera,
suasana yang masih cukup lengang tersebut otak saya menghadirkan imajinasi
puluhan tahun silam, di jalan inilah berseliweran para pejuang Aceh dengan
langkah-langkah yang tegap dan sikap yang kukuh dan penuh kewaspadaan.
Aktivitas saya tersebut, nampaknya
mengundang perhatian sekelompok sapi yang berkeliaran bebas tanpa menyandang
seutas tali. Rupanya sapi-sapi disini dipelihara dengan bebas (maksudnya
dibebaskan tanpa ikaatan)…
Beberapa ekor sapi memandang saya
dengan ekspresi heran, sementara beberapa lagi mendekat dengan tatapan curiga.
Salah seekor nya sapi dengan sepasang tanduk yang melengkung bahkan menatap
dengan penuh intimidasi, dan sumpah… kondisi tersbut membuat saya mulai menyiapkan langkah-langkah
antisipasi jika seandainya sapi tersebut tiba-tiba saja melakukan tindakan
melanggar hukum kepada saya… (tegang broo…, bayangkan aja serombongan sapi
melintas dengan tatapan yang mengintimidasi dalam jarak 5 meter dari posisi
kita berdiri.. dan saya mengalami itu )
Akhirnya, ketika mulai ada jarak
antara saya dengan sapi-sapi tersebut, Saya memutuskan balik dan memasuki
komplek makam. di dalam komlek makam ini terdapat beberapa bangunan.
Bangunan pertama yang menarik
perhatian saya adalah Mimbar Gupaleh, sebuah banguan berbentuk panggung dengan
atap yang lumayan tinggi, dan nampaknya difungsikan sebagai aula tempat
berkumpul meski ukurannya tidak terlalu luas.
Pada awalnya tempat mimbar Gupaleh
ini adalah pintu gerbang masuk ke masjid Meureu (sebelum dibakar Belanda) dan
tempat meletakkan bedug dan kentongan, dibawahnya adalah sumur tempat mengambil
air wudhu (karena di bawah mimbar Gupaleh maka sumur tersebut tidak bisa
dilihat secara langsung)
Disamping mimbar Gupaleh, adalah
bangunan kubah yang didalamnya terdapat makan Tengku Cik Di Tiro, serta dua
makam lainnya. ketiga makam tersebut ukurannya cukup besar dengan panjang
masing-masing sekitar dua meter dengan nisan berbentuk batu berwarna gelap.
Disamping makam, tepat diatas tebing
sungai (krueng) terdapat sebatang pohon bak Jeuleupee dengan kondisi batangnya
yang penuh dengan benjolan sebesar kepalan tangan. Konon benjolan tersebut
muncul sebagai efek dari banyaknya peluru amunisi Belanda yang menyasar batang
pohon tersebut.
Setelah puas mengeksplorasi komplek makam,
Saya kemudian mendatangi beberapa pria yang duduk di salah satu bangunan yang
tampak difungsikan sebagai semacam sekretariat, dan berbicara dengan mereka
terutama berkaitan dengan Tengku Cik Di Tiro dan sejarahnya.
Sementara rombongan peserta tampak
sudah mulai berdatangan sebagian dengan berjalan kaki, dan sebagian lagi
dijemput oleh bisa yang lebih kecil dan dibantu oleh mobil patroli polisi.
Tengku Cik Di Tiro mempunyai nama
asli Muhammad Saman, Beliau lahir tahun 1836 di Cumbok-Lamlo, Tiro. Beliau
menghabiskan masa mudanya dengan belajar pada ulama-ulama di daerah Tiro, sehingga
diberi gelar Tengku Cik Di Tiro.
Berbagai usaha dilakukan Belanda
untuk meredam perlawanan beliau, hingga akhirnya Belanda menempu jalan curang
dengan mengirimkan makanan yang telah ditaburi racun untuk membunuh beliau.
Sejarah perjuangan Tengku Cik Di Tiro,
menyingkap tabir tentang besarnya peran ulama dalam perjuangan. Ulama menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah perjuangan bangsa ini.
Tengku Cik Tiro, Imam Bonjol, Syekh
Yusuf dan lainnya menunjukkan bahwa para ulama mengambil peran aktif, dalam
bentuk penyokong perlawanan dan bahkan turun secara langsung memimpin
perjuangan.
( Bersambung )
Baca juga :
sebagai informasi tambahan, dalam areal masjid yang bapak sebutkan itu ada masjid tuanya pak, yang hampir seumur dengan masa hidupnya Tgk Chik di Tiro, dan di Tiro juga ada masjid yang dibangun oleh belia dengan bentuk yang hampir sama.
BalasHapusDi dalam area komplek makam itu ya Mas Yudi? Saya hanay sampai di tempat wudhu dibelakang bangunan kubah makam.. dan Saya malah tertarik dengan bangunan diantara Mimbar Gupaleeh dengan area makam...
BalasHapus